Erdogan, Sosok yang Tak Terlupakan

Recep Tayyip Erdogan bukan sekadar nama. Ia adalah simbol transformasi Turki modern, pemimpin yang dielu-elukan sekaligus dikritik tajam. Dari latar belakang sederhana sebagai penjual lemon hingga menjadi Presiden Turki selama dua dekade, Erdogan menorehkan sejarah yang kompleks. Bagaimana kisahnya? Mengapa kunjungannya ke Indonesia pada 2024 menjadi sorotan? Artikel ini akan mengupas tuntas sisi manusiawi, pencapaian, kontroversi, dan hubungan eratnya dengan Indonesia.


1. Biografi Recep Tayyip Erdogan: Dari Jalanan Istanbul ke Istana Kepresidenan

Erdogan lahir pada 26 Februari 1954 di Istanbul, dari keluarga pekerja. Ayahnya, seorang penjaga pantai, mengajarkannya disiplin dan kerja keras. Di masa muda, Erdogan menjual lemon dan roti untuk membantu ekonomi keluarga. Namun, ambisinya di politik mulai terlihat saat ia bergabung dengan Partai Keselamatan Nasional di usia 20-an.

Pada 1994, ia terpilih sebagai Wali Kota Istanbul. Prestasinya membersihkan kota dari polusi dan meningkatkan infrastruktur membuatnya populer. Namun, karirnya sempat terhenti pada 1998 ketika dihukum karena membacakan puisi Islamis yang dianggap provokatif. Hukuman penjara justru menjadi batu loncatan untuk mendirikan Partai AKP (Partai Keadilan dan Pembangunan) pada 2001, yang kemudian mengantarkannya menjadi Perdana Menteri (2003–2014) dan Presiden Turki (2014–sekarang).

Baca Juga

2. Erdogan dan Transformasi Turki Modern

Erdogan dan Transformasi Turki Modern | Recep Tayyip Erdogan: Kisah Pemimpin Turki yang Mengubah Sejarah dan Sinergi dengan Indonesia
Erdogan dan Transformasi Turki Modern | Recep Tayyip Erdogan: Kisah Pemimpin Turki yang Mengubah Sejarah dan Sinergi dengan Indonesia

Ekonomi: Dari Krisis ke Kekuatan Regional

Di bawah Erdogan, Turki mengalami pertumbuhan ekonomi pesat. Pada 2000-an, GDP Turki tumbuh rata-rata 7% per tahun. Infrastruktur seperti bandara Istanbul, jembatan Bosporus, dan jaringan kereta cepat menjadi kebanggaan. Namun, krisis mata uang Lira pada 2018 dan inflasi tinggi (mencapai 85% pada 2022) menjadi tantangan terbesarnya.

Politik: Demokrasi atau Otoritarianisme?

Erdogan kerap dituduh otoriter. Usahanya mengubah sistem pemerintahan menjadi presidensial pada 2017 menuai kritik. Pembatasan kebebasan pers, penahanan jurnalis, dan pembersihan lawan politik pasca-kudeta 2016 memperkuat narasi ini. Namun, pendukungnya mengklaim Erdogan membawa stabilitas setelah decades of political chaos.

Kebijakan Luar Negeri: Ambisi Turki sebagai Kekuatan Global

Erdogan ingin menjadikan Turki pemain utama di panggung internasional. Dari intervensi di Suriah, dukungan untuk Palestina, hingga kerja sama militer dengan Ukraina, ia tak ragu mengambil sikap tegas. Hubungannya dengan NATO dan AS fluktuatif, terutama setelah pembelian rudal S-400 dari Rusia.

3. Kunjungan Erdogan ke Indonesia: Momen Bersejarah bagi Diplomasi Dua Negara

Pada Mei 2024, Erdogan melakukan kunjungan kenegaraan ke Indonesia. Kedatangannya disambut langsung oleh Prabowo Subianto, Menteri Pertahanan Indonesia, di Bandara Halim Perdanakusuma. Menurut sumber Istana, Prabowo dipilih karena hubungan personalnya yang baik dengan Erdogan dan komitmen memperkuat kerja sama pertahanan.

Agenda Utama Kunjungan

  • Perdagangan: Meningkatkan ekspor kopi Indonesia ke Turki dan impor produk tekstil Turki.
  • Pertahanan: Pembicaraan tentang pembelian drone militer Bayraktar TB2 dan pelatihan bersama TNI-Tentara Turki.
  • Kebudayaan: Pertukaran pelajar dan restorasi situs sejarah Ottoman di Indonesia.

Prabowo-Erdogan: Chemistry Dua Pemimpin

Prabowo dan Erdogan dikenal sebagai pemimpin yang karismatik dan tegas. Dalam sambutannya, Erdogan menyebut Indonesia sebagai “mitra strategis di Asia Tenggara”. Sementara Prabowo menekankan pentingnya solidaritas negara muslim dalam menghadapi tantangan global.

4. Kontroversi Erdogan: Antara Pujian dan Kritik

Erdogan adalah figur polarisasi. Di dalam negeri, kebijakan Islamisnya disukai kaum konservatif, tetapi ditentang kaum sekuler. Di luar negeri, dukungannya untuk Hamas dan kebijakan Suriah menuai kecaman Barat.

Isu HAM dan Kebebasan Sipil

Laporan Amnesty International menyoroti penahanan 50.000+ orang pasca-kudeta 2016, termasuk akademisi dan aktivis. Erdogan membela tindakannya sebagai “pembersihan ancaman teroris”.

Ekonomi Turki yang Tertekan

Inflasi dan devaluasi Lira membuat rakyat Turki kesulitan. Erdogan menolak menaikkan suku bunga, bertentangan dengan saran ekonom. Keputusan ini dianggap sebagai “perang ekonomi” yang berisiko.

5. Indonesia-Turki: Potensi Kolaborasi di Masa Depan

Indonesia dan Turki memiliki banyak kesamaan: populasi muslim besar, demokrasi dinamis, dan visi menjadi kekuatan regional. Beberapa bidang kolaborasi potensial:

  1. Teknologi Pertahanan: Pengembangan drone dan sistem senjata bersama.
  2. Ekonomi Kreatif: Ekspor batik dan kerajinan Indonesia ke pasar Turki.
  3. Energi Terbarukan: Investasi PLTS dan panas bumi.
  4. Pariwisata: Promosi wisata halal dan jalur sejarah Ottoman.

6. Pendapat Publik: Bagaimana Erdogan Dilihat di Indonesia?

Survei LSI 2023 menunjukkan 65% masyarakat Indonesia memandang positif Erdogan karena sikapnya terhadap Palestina dan dukungan untuk dunia Islam. Namun, 20% mengkritik gaya kepemimpinannya yang dianggap otoriter.

Kesimpulan: Erdogan, Pemimpin yang Tak Sempurna tapi Berpengaruh

Recep Tayyip Erdogan adalah puzzle yang sulit dipecahkan. Di satu sisi, ia membawa kemajuan ekonomi dan kebanggaan nasional bagi Turki. Di sisi lain, gaya kepemimpinannya yang otoriter dan kebijakan ekonomi kontroversial meninggalkan catatan kelam. Bagi Indonesia, hubungan dengan Turki di era Erdogan membuka peluang besar, terutama di bidang pertahanan dan perdagangan. Kolaborasi kedua negara bisa menjadi contoh sinergi antarnegara muslim di tengah dinamika global yang tidak pasti.

Sumber dan Referensi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *