Tafsir
Ayat ini masih membicarakan tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah, alam semesta dan hubungannya dengan keadaan manusia, pergantian siang dan malam, serta tidur manusia di malam hari dan bangunnya mencari rezeki di siang hari. Manusia tidur di malam hari agar badannya mendapatkan ketenangan dan istirahat, untuk memulihkan tenaga-tenaga yang digunakan waktu bangunnya. Tidur dan bangun itu silih berganti dalam kehidupan manusia, seperti silih bergantinya siang dan malam di alam semesta ini. Dengan keadaan yang silih berganti itu, manusia akan mengetahui nikmat Allah serta kebaikan-Nya. Di waktu tidur manusia mengistirahatkan tubuhnya. Dia akan mendapatkan pergerakan anggota tubuhnya dengan leluasa di waktu bangun.
Dalam ayat ini, tidur didahulukan daripada bangun, padahal kelihatannya bangun itu lebih penting daripada tidur karena ketika bangun orang bekerja, berusaha, dan melaksanakan tugas dan kewajibannya dalam hidup, sebagaimana terkandung dalam firman-Nya, "dan usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya. Pada umumnya manusia itu sedikit sekali yang memperhatikan kenikmatan tidur. Kebanyakan mereka memandang tidur itu sebagai suatu hal yang tidak penting. Ini adalah pengertian yang salah dalam memahami nikmat besar yang dianugerahkan Allah kepada manusia.
Tidur merupakan pengasingan manusia dari kesibukan-kesibukan hidup, dan terputusnya hubungan antara jiwa dengan zatnya sendiri, seakan-akan identitasnya hilang waktu itu. Ketika tidur atau dalam keadaan antara bangun dan tidur, manusia pergi ke mana saja yang ia sukai dengan akal dan rohnya. Ia bisa melanglang buana ke balik alam materi yang tidak mempunyai belenggu dan halangan. Di sana dia dapat merealisir apa yang tidak dapat direalisasikannya di dalam dunia serba benda ini. Dalam alam mimpi itu dia akan mendapat kepuasan.
Berapa banyak orang yang miskin, tapi dalam mimpinya ia dapat memakan apa yang diinginkannya. Berapa banyak orang yang teraniaya, tapi dalam mimpinya ia dapat mengobati jiwanya dari keganasan dan kezaliman. Berapa banyaknya orang yang berjauhan tempat tinggal, tetapi dalam mimpi mereka dapat berjumpa dengan sepuas hatinya. Banyak lagi contoh lainnya yang tidak mungkin disebutkan satu per satu.
Menurut ahli ilmu jiwa, mimpi yang dialami pada waktu tidur merupakan penetralisir, yakni pemurni dan penawar bagi jiwa. Bagi orang-orang yang sedang lapar umpamanya, mereka dapat mewujudkan apa yang diinginkan atau dikhayalkannya di waktu bangun. Demikian pula halnya dengan orang-orang yang teraniaya, haus, dan sebagainya. Dengan situasi itu jiwa akan lega dan tenteram. Kalau tidak demikian, tentu akan terjadi ketegangan-ketegangan jiwa yang sangat berbahaya. Jadi dalam dunia tidur, manusia akan mendapat kepuasan akal, rohani, dan jiwanya. Hal mana tidak dapat diperolehnya di waktu bangun atau jaga.
Apabila tubuh manusia memerlukan makan dan minum, maka roh, jiwa, dan akal pun memerlukan makan dan minum. Kedua hal itu dilakukannya di waktu tidur. Tidur itu tidak lain merupakan belenggu bagi tubuh, tetapi kebebasan bagi jiwa. Dengan demikian, segi kejiwaan mendapatkan kebahagiaannya di waktu tidur, serta bebas dari kebendaan, tekanan, dan kezaliman. Kalau tidak demikian, roh itu akan selalu terbelenggu dalam tubuh dan cahayanya akan pudar.
Orang-orang yang menganggap tidur sebagai suatu hal yang remeh, kemestian yang berat dan diharuskan bagi tubuh manusia, serta suatu obat yang mencekam kepribadiannya, seperti pada masa kanak-kanak dan masa tua, maka anggapan demikian itu disebabkan karena mereka tidak mengetahui kecuali apa yang dapat diraba oleh tangan, atau dilihat oleh mata sendiri. Adapun yang di balik itu, mereka tidak mengetahui atau mempercayainya, atau karena mereka materialistis, yang hanya melihat kepada materi saja. Mereka bergaul dengan manusia hanyalah atas dasar materi.
Apabila tidur dianggap sebagai nikmat yang nyata, maka sesungguhnya Allah telah menyediakan malam sebagai waktu yang tepat untuknya. Tidur adalah nikmat yang jelas, seperti dalam firman Allah:
Katakanlah (Muhammad), "Bagaimana pendapatmu, jika Allah menjadikan untukmu siang itu terus-menerus sampai hari Kiamat. Siapakah tuhan selain Allah yang akan mendatangkan malam kepadamu sebagai waktu istirahatmu? Apakah kamu tidak memperhatikan?" (al-Qashash/28: 72)
Malam itu tidak ubahnya sebagai layar yang menutupi makhluk-makhluk hidup termasuk manusia. Lalu dia mengantarkan mereka kepada ketenangan, kemudian tidur.
Sesungguhnya malam merupakan sesuatu yang tidak terelakkan datangnya, sebagaimana juga siang. Malam adalah waktu untuk istirahat dan siang adalah waktu untuk bekerja. Adapun bagi mereka yang bekerja pada malam hari, baginya tetap dituntut untuk memelihara hak badannya dalam arti mengistirahatkannya. Allah berfirman:
Dan Dialah yang menidurkan kamu pada malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang hari. Kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umurmu yang telah ditetapkan. Kemudian kepada-Nya tempat kamu kembali, lalu Dia memberitahukan ke-padamu apa yang telah kamu kerjakan. (al-Anam/6: 60)
Karena malam adalah waktu yang penting dan tepat untuk tidur, Allah banyak sekali bersumpah dalam Al-Qur'an dengan malam, seperti Surah al-Lail (Malam), sebagai penghargaan bagi waktu malam. Dalam surah ini terdapat isyarat bahwa di kala malam itu datang, tertutuplah cahaya siang, dan terjadilah kegelapan dan keheningan yang merata. Waktu semacam itu sesuai betul untuk tidur dan beristirahatnya tubuh dan jiwa. Apabila siang datang, maka terang benderanglah alam ini dan waktu semacam itu amat tepatlah untuk bekerja, berusaha, dan berjuang. Allah berfirman:
Demi malam apabila menutupi (cahaya siang), demi siang apabila terang benderang. (al-Lail/92: 1-2)
Dalam ayat yang lain Allah berfirman:
Demi matahari dan sinarnya pada pagi hari, demi bulan apabila mengiringinya, demi siang apabila menampakkannya, demi malam apabila menutupinya (gelap gulita). (asy-Syams/91: 1-4)
Dalam ayat 23 ini, siang disamakan dengan malam, yakni dengan firman-Nya, "¦tidurmu di waktu malam dan siang hari." Hal demikian itu sebagai penegasan bahwa malam, walaupun waktu yang tepat untuk tidur, tetapi tidak melarang orang mempergunakan waktu siang untuk tidur. Pada umumnya, manusia tidur di waktu malam, tetapi tidak sedikit pula di antara mereka yang tidur di waktu siang, atau sebahagian dari tidurnya dilaksanakan di siang hari. Oleh karena itu, malam didahulukan penyebutannya.
Ayat ini ditutup dengan ungkapan, "Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan." Dalam ungkapan ini seruan ditujukan kepada pendengaran, bukan pancaindra yang lain. Hal ini merupakan suatu isyarat bahwa pendengaran itu mewujudkan pengetahuan, dan juga memberi pengertian bahwa tidur di malam dan siang hari, serta berusaha mencari karunia Allah adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran-Nya. Hanya orang yang mempunyai pendengaran yang tajam dan peka yang dapat mem-perhatikan apa yang didengarnya, terutama sekali ayat-ayat Al-Qur'an yang dibacakan kepadanya.