Tafsir
Dalam ayat ini, Allah menyatakan dengan tegas kepada Nabi Muhammad saw bahwa beliau tidak memerlukan suatu nikmat pun dari orang lain selain dari nikmat Allah. Mungkinkah Muhammad itu dikatakan seorang gila, karena memperoleh nikmat dan karunia yang sangat besar dari Allah? Pada ayat lain dinyatakan:
Dan mereka berkata, "Wahai orang yang kepadanya diturunkan Al-Qur'an, sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar orang gila." (al-hijr/15: 6)
Setelah orang-orang Quraisy mengetahui pernyataan Waraqah bin Naufal itu dan Rasulullah menyampaikan agama Islam kepada mereka, maka mereka menuduh bahwa Muhammad saw dihinggapi penyakit gila atau seorang tukang tenung yang ingin memalingkan orang-orang Quraisy dari agama nenek moyang mereka. Oleh karena itu, mereka memerintahkan kepada kaumnya agar jangan sekali-kali mendengarkan ucapan Muhammad saw, dan jangan mempercayai bahwa yang diterimanya benar-benar agama Allah. Mungkinkah seorang manusia, seorang gila atau seorang tukang tenung dipercaya Allah menyampaikan agama-Nya?
Sehubungan dengan sikap orang-orang Quraisy itu, turunlah ayat ini untuk menguatkan risalah Muhammad saw, menguatkan hati beliau, dan mengingatkan karunia yang telah dilimpahkan kepadanya. Dengan ini, Allah mengisyaratkan bahwa agama yang benar dan berasal dari-Nya ialah agama yang mendorong manusia mencari dan menuntut ilmu-Nya yang luas, kemudian memanfaatkan ilmu itu untuk kepentingan manusia dan kemanusiaan.
Setiap ilmu Allah yang diperoleh itu harus ditulis dengan pena, agar dapat dipelajari dan dibaca oleh orang lain, sehingga ilmu itu berkembang. Dengan ilmu itu juga, manusia akan dapat mencapai kemajuan. Oleh karena itu, belajar membaca dan menulis dengan pena adalah pangkal kemajuan suatu umat. Apabila manusia ingin maju, maka galakkanlah belajar menulis dan membaca. Dengan turunnya ayat ini, hati Rasulullah saw bertambah mantap, tenang, dan kuat untuk melaksanakan tugasnya menyampaikan agama Allah. Beliau mempunyai argumentasi yang kuat pula dalam menghadapi sikap orang-orang Quraisy.
Dengan ayat ini, Allah menjawab tuduhan orang-orang Quraisy itu dengan menyuruh mereka mempelajari kembali sejarah hidup Nabi Muhammad yang besar dan tumbuh di hadapan mata kepala mereka sendiri. Bukankah sebelum ia diutus menjadi rasul, orang-orang yang mengatakannya gila itu menghormati dan menjadikannya sebagai orang yang paling mereka percayai? Apakah mereka tidak ingat lagi bahwa di antara mereka pernah terjadi perselisihan tentang siapa yang berhak mengangkat hajar Aswad dan meletakkannya pada tempatnya yang semula. Peristiwa itu hampir menimbulkan pertumpahan darah, dan tidak seorang pun yang dapat mendamaikannya. Lalu mereka minta kepada Muhammad untuk bersedia menjadi juru damai di antara mereka. Mereka menerima keputusan yang ditetapkan Muhammad atas mereka, dan mereka menganggap bahwa keputusan yang diberikannya itu adalah keputusan yang paling adil.
Mungkinkah seorang yang semula baik, dianugerahi Allah kejujuran, kehalusan budi pekerti, selalu menolong dan membantu siapa saja yang memerlukannya, dan menjadi contoh dan teladan bagi orang Quraisy, tiba-tiba menjadi gila karena ia melaksanakan perintah Tuhan semesta alam, yaitu menyampaikan agama Allah dan berhijrah ke Medinah.
Jika diperhatikan susunan ayat ini, ada suatu teladan yang harus ditiru oleh kaum Muslimin, yaitu walaupun orang-orang Quraisy telah bersikap kasar dan menyakiti hati dan jasmaninya, namun Rasulullah saw membantah tuduhan-tuduhan mereka dengan cara yang baik dan mendidik. Beliau menyuruh mereka menggunakan akal pikiran yang benar dan menggunakan norma-norma yang baik.