Tafsir
Al-Qur'an bukan syair seperti yang biasa diucapkan penyair-penyair mereka, karena Al-Qur'an di samping indah susunan gaya bahasanya juga mempunyai isi yang dalam. Syair-syair yang diucapkan para penyair mereka tidak memiliki susunan gaya bahasa seindah susunan dan gaya bahasa Al-Qur'an dan tidak mempunyai arti yang tinggi. Banyak terdapat ayat Al-Qur'an yang menantang orang musyrik agar membuat yang serupa atau sebanding dengan Al-Qur'an, tetapi mereka tidak sanggup melakukannya.
Dan jika kamu meragukan (Al-Qur'an) yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surah semisal dengannya dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Jika kamu tidak mampu membuatnya, dan (pasti) tidak akan mampu, maka takutlah kamu akan api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir. (al-Baqarah/2: 23-24)
Ditegaskan pula bahwa Al-Qur'an itu juga bukan berasal dari perkataan tukang tenung. Biasanya tukang tenung teman setan karena mereka menenung itu semata-mata mencari-cari bisikan setan. Padahal Al-Qur'an mencela perbuatan setan, sehingga dengan demikian, ia bukan bisikan setan dan bukan pula hasil tukang tenung. Sehubungan dengan itu, ayat ini menyanggah orang-orang musyrik agar tidak buru-buru berkesimpulan bahwa Al-Qur'an itu adalah tenung hanya karena belum atau tidak mengetahui isi Al-Qur'an. Sangat sedikit di antara mereka yang mau beriman kepada Al-Qur'an ketika itu, dan mau mengambil pelajaran dari isinya. Mukjizat Qur'an terletak pada isi. Makin tinggi ilmu pengetahuan seseorang, akan makin mudah mencerna maksudnya, di samping nilai bahasanya.
Umat Islam Indonesia pada umumnya kesulitan membuktikan dan mengetahui letak kemukjizatan Al-Qur'an dari segi bahasa, karena untuk mengetahui ketinggian susunan kata-kata haruslah dapat merasakan keindahan gaya dan bahasa itu sendiri. Oleh karena itu, untuk mengetahui ketinggian Al-Qur'an, cukup dengan mengetahui pendapat dan sikap para sastrawan Arab penantang Islam terhadap Al-Qur'an itu. Di antaranya adalah Abu al-Walid, yaitu seorang pemimpin dan sastrawan Arab yang terkenal pada masa itu. Ia pernah diutus kaumnya kepada Nabi saw untuk meminta beliau menghentikan dakwahnya. Mendengar permintaan Abu al-Walid itu, Nabi saw membaca Surah Fussilat/41 dari ayat pertama hingga akhir ayat 14. Abu al-Walid terpesona mendengar ayat-ayat itu, sehingga ia termenung memikirkan keindahan gaya bahasanya. Lalu ia langsung kembali kepada kaumnya. Ketika ditanya tentang hasil pertemuan itu, ia mengatakan kepada kaumnya, "Aku belum pernah mendengar kata-kata yang seindah itu. Apa yang dibaca itu bukanlah syair, sihir, atau kata-kata ahli tenung. Mendengar jawaban Abu al-Walid, mereka menuduh bahwa ia telah terkena sihir oleh Muhammad dan berkhianat kepada agama nenek moyang mereka. Di antara pemuka dan sesepuh Quraisy adalah al-Walid bin al-Mugirah. Orang ini pernah mendengar ayat-ayat Al-Qur'an yang dibacakan Nabi. Maka ia berkata kepada kaumnya (Bani Makhzum), "Baru-baru ini aku mendengar dari Muhammad suatu ucapan yang menurutku bukanlah perkataan manusia atau jin. Ucapan itu enak didengar, bagus disimak, laksana sebatang pohon, yang atasnya berbuah, dan bawahnya terhunjam ke tanah. Dia benar-benar unggul dan tidak akan dapat diungguli. Di samping dua orang tersebut, banyak juga sastrawan Arab pada waktu itu yang mencoba membuat yang serupa ayat-ayat Al-Qur'an , tetapi tidak seorang pun yang sanggup melakukannya.
Dari kedua ayat ini dapat dipahami bahwa sangat sedikit di antara kaum musyrik Mekah yang mengakui bahwa Al-Qur'an adalah kitab yang diturunkan Allah kepada Muhammad, begitu juga yang mengambil pelajaran dari isinya. Yang demikian itu adalah karena:
1.Mereka takut dikucilkan oleh kaumnya dengan mempelajari Al-Qur'an, walaupun hati dan pikiran mereka telah mengakuinya, seperti halnya pada Abu al-Walid dan al-Walid bin al-Mugirah.
2.Sebahagian mereka tidak mengetahui isinya karena tidak mau mempelajarinya dengan sungguh-sungguh. Mereka lebih dahulu mendustakannya.